Beranda | Artikel
Suara Hati Ibnul Jauzi Kepada Buah Hatinya
Selasa, 20 Desember 2011

Suara Hati Ibnul Jauzi Kepada Buah Hatinya

(Risalah yang ditulis oleh Ibnul Jauzi rahimahullah untuk menasehati anaknya yang akhirnya durhaka)

Prolog:

Tidak ada yang mengingkari bahwa anak merupakan buah hati orang tua. Betapa kebahagiaan yang akan dirasakan oleh seorang ibu ataupun ayah tatkala memiliki seorang anak yang sholeh yang berbakti kepada mereka. Sebaliknya jika ternyata sang anak adalah anak yang durhaka maka sungguh penderitaan dan kepiluan yang dirasakan di hati orang tua.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memotivasi kita untuk memiliki anak sholeh, beliau bersabda :

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَشْيَاءَ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika telah meninggal seorang manusia maka terputuslah amalannya darinya kecuali dari tiga perkara, dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang sholeh yang mendoakannya” (HR Muslim no 1631)

Bukanlah dipahami dari hadits ini berarti doa dari selain anak kita tidak bermanfaat bagi kita !!, karena merupakan kesepakatan para ulama bahwasanya mendoakan seorang muslim setelah wafatnya akan bermanfaat bagi sang mayat, siapapun juga yang mendoakannya, baik kerabat maupun bukan kerabat. Akan tetapi dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan anak yang mendoakan orang tuanya. Kenapa…?

Diantara faedahnya bagi seorang anak adalah agar tatkala membaca hadits ini timbul semangat untuk mendoakan kedua orang tuanya. Al-Munaawi berkata :

وَفِائِدَةُ تَقْيِيِدِهِ بِالْوَلَدِ مَعَ أَنَّ دُعَاءَ غَيْرِهِ يَنْفَعُهُ تَحْرِيْضُ الْوَلَدِ عَلَى الدُّعَاءِ

“Dan faedah dikhususkan pernyebutan “anak” padahal doa orang lain juga bermanfaat bagi sang mayat yaitu agar memotivasi sang anak untuk mendoakan sang mayat” (Sebagaimana dinukil dalam ‘Aunul Ma’buud 8/62)

Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa doa seorang anak lebih bermanfaat bagi orang tuanya yang telah wafat daripada sedekah atas nama orang tuanya. (lihat penjelasan Syaikh Ibnu al-‘Utsaimin dalam syarh Riyaad As-Sholihin)

Kemudian Rasulullah tidak hanya sekedar menyebutkan anak, akan tetapi anak yang sholeh, karena sebagaimana perkataan Syaikh Ibnu Al-‘Utsaimin :

لِأَنَّ غَيْرَ الصَّالِحِ لاَ يَدْعُو لِوَالِدَيْهِ وَلاَ يَبَرُّهُمَا لَكِنَ الصَّالِحَ هُوَ الَّذِي يَدْعُو لِوَالِدَيْهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا، وَلِهَذَا يَتَأَكَّدُ عَلَيْنَا أَنْ نَحْرِصَ غَايَةَ الْحِرْصِ عَلَى صَلاَحِ أَوْلاَدِنَا لِأَنَّ صَلاَحَهُمْ صَلاَحٌ لَهُمْ وَخَيْرٌِ لَنا حَيْثُ يَدْعُوْنَ لَنَا بَعْدَ الْمَوْتِ

“Karena anak yang tidak sholeh tidak mendoakan kedua orangtuanya dan tidak berbakti kepada mereka. Akan tetapi anak yang sholeh dialah yang mendoakan kedua orang tuanya setelah wafatnya mereka. Karenanya semakin ditekankan agar kita sungguh-sungguh semangat untuk meraih kesolehan anak-anak kita, karena pada kesholehan mereka ada kebaikan bagi mereka dan juga bagi kita karena mereka mendoakan kita setelah wafatnya kita” (Syarh riyaadus solihin)

Sungguh anak yang sholeh akan membahagiakan orangtuanya dengan kebahagiaan yang lestari semasa hidup orang tua…bahkan berlanjut setelah wafat orangtuanya.

Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini…tidak ada yang terus mendoakan kita semasa hidup kita dan terlebih-lebih lagi setelah wafat kita kecuali anak-anak yang sholeh. Kakak kita…, adik kita…, sahabat kita… mungkin pernah mendoakan kita semasa hidup atau setelah wafat kita…akan tetapi doa mereka tidaklah berkesinambungan. Berbeda dengan anak yang sholeh…yang benar-benar berbakti kepada kita..tentunya dialah yang ikhlas dan khusyuk tatkala mendoakan kita. Semoga Allah menganugerahkan kita anak-anak yang sholeh dan berbakti kepada kedua orang tua mereka.

Karena hal ini maka Syari’at memerintahkan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka agar menjadi anak-anak yang sholeh dan terhindar dari siksa api neraka. Allah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS At-Tahriim : 6)

Ali bin Abi Thoolib radhiallahu ‘anhu berkata :

عَلِّمُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُم الْخَيْرَ

Ajarilah kebaikan pada kalian dan keluarga kalian” (HR Al-Haakim 4/494 dan Al-Khothiib Al-Baghdaadi di Al-Faqiih wa Al-Mutafaqqih 1/47)

Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan putri tercintanya Fathimah untuk menyelamatkan dirinya dari api neraka, tentunya dengan beramal sholeh. Beliau bersabda :

يَا فَاطِمَةُ أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنَ النَّارِ فَإِنِّي لاَ أَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا

Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka, sesungguhnya aku tidak bisa menyelamatkan kalian sama sekali” (HR Muslim no 204)

Karenanya Nabi memerintahkan para orang tua untuk mulai mendidik anak mereka sejak dini, beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda :

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

Perintahkan anak-anak kalian untuk sholat tatkala mereka berumur 7 tahun, dan pukullah mereka untuk sholat tatkala mereka berumur 10 tahun, dan pisahkan mereka di tempat tidur (*antara anak lelaki dan anak perempuan)” (HR Abu Dawud 495)

Ibnul Jauzi diuji dengan anak yang durhaka

Akan tetapi tidaklah harapan setiap orang tua terkabul…, ternyata terkadang meskipun orang tua telah berusaha semaksimal mungkin agar sang anak menjadi anak yang sholeh dan berbakti akan tetapi Allah mentaqdirkan sang anak tetap menjadi anak yang durhaka…. Tentunya dibalik semua ini ada hikmah. Lihatlah Nabi Nuuh ‘alaihis salaam yang telah berusaha keras mendakwahi kaumnya…(terlebih-lebih lagi anaknya).  Bukan hanya… sepekan sekali beliau berdakwah…bukan hanya sesaat dalam sehari beliau menasehati kaumnya dan anaknya…akan tetapi siang dan malam !!!, bukan hanya setahun dua tahun….bahkan 950 tahun…, Allah berfirman :

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلا خَمْسِينَ عَامًا

Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun (QS Al-Ankabuut : 14)

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلا وَنَهَارًا (٥)فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلا فِرَارًا (٦)

Nuh berkata: “Ya Tuhanku Sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang,  maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran) (QS Nuuh : 5-6).

Semakin Nuuh berdakwah kepada anaknya maka semakin kafir anaknya tersebut.

Demikian pula terkadang kita mendapati ada sebagian ulama yang ternyata diuji oleh Allah dengan kondisi sebagian anak-anaknya yang durhaka, sebagaimana yang dialami oleh Ibnul Jauzi rahimahullah.

Siapakah anak Ibnul Jauzi yang druhaka?

Anak Ibnul Jauzi ini bernama Badruddin Abul Qoosim Ali, ia adalah anak laki-laki satu-satunya yang masih hidup tatkala Ibnu Jauzi menulis risalah untuk menasehatinya.

Ibnul Jauzi berkata di awal risalahnya, “Tatkala aku mengetahui mulianya menikah dan mengharapkan anak-anak maka akupun mengkhatamkan Al-Qur’an lalu aku berdoa kepada Allah agar Allah menganugerahkan kepadaku 10 anak, maka Allahpun menganugrahkan kepadaku 10 anak, 5 putra dan 5 putri. Lalu meninggal 2 putriku dan 4 putraku. Maka tidak tersisa dari para putraku kecuali Abul Qosim” (Laftah Al-Kabid hal 25-26)

Abul Qosim Ali adalah seorang yang sholeh di masa mudanya, bahkan beliau seorang muhaddits yang memberi isnad dan riwayat. Adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Seorang syaikh yang mulia al-musnid… seorang yang menjaga kehormatan dirinya…, Ibnu An-Najjar berkata ; Dia adalah seorang pemberi nasehat/ceramah di masa kecilnya” (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 22/352)

Akan tetapi kondisi Abul Qosim yang sholeh ternyata tidak berlangsung seterusnya, ia mengalami perubahan, mulailah ia malas dalam menuntut ilmu. Dan perubahan ini dirasakan oleh sang ayah Ibnul Jauzi. Ibnul Jauzi berkata dalam risalahnya tentang Abul Qoosim, “Kemudian aku melihat ada kemalasan pada dirinya dalam kesungguhan menuntut ilmu, maka akupun menuliskan risalah ini untuk memotivasinya dan menggerakkannya agar menempuh jalan yang telah aku tempuh dalam menuntut ilmu, dan mengarahkannya agar bersandar kepada Allah yang Maha memberi taufiq” (Laftah Al-Kabid hal 26).

Dan ternyata nasehat yang ditulis oleh Ibnul Jauzi kepada sang anak tidak memberikan perubahan kepada sang anak, bahkan sang anak malah menjadi semakin durhaka.

Ibnu An-Najjaar berkata,

وَعظَ فِي صِبَاهُ، وَكَانَ كَثِيْرَ المَيْلِ إِلَى اللَّهْوِ وَالخَلاَعَةِ، فَتركَ الوعظَ، وَاشْتَغَلَ بِمَا لاَ يَجوزُ، وَصَاحَبَ المُفسدِينَ…وَلَمْ يَزَلْ عَلَى طَرِيقتِهِ إِلَى آخرِ عُمُرِهِ

“Abul Qoosim memberi nasehat/ceramah di masa kecilnya, dan dia terlalu condong kepada hiburan dan pengumbaran hawa nafsu, maka diapun meninggalkan ceramah dan berkutat dengan perkara-perkara yang tidak diperbolehkan, serta bergaul dengan orang-orang perusak….dan dia senantiasa demikian hingga akhir hayatnya” (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 22/353)

Perubahan yang semakin parah inilah yang menjadikan Ibnul Jauzipun meng-hajr sang anak Abul Qoosim selama bertahun-tahun.

Bahkan Abul Qoosim telah mencuri kitab-kitab ayahnya Ibnul Jauzi tatkala ayahnya dipenjara, lalu menjualnya dengan harga yang sangat murah (lihat Siyar A’laam An-Nubalaa’ 21/384)

Ibnul Jauzi pun telah mengisyaratkan bahwasanya risalah yang ia tulis untuk anaknya Abul Qoosim hanyalah sekedar usaha, adapun keberhasilan dan taufiq serta hidayah, seluruhnya di tangan Allah. Beliau berkata dalam risalahnya tersebut, “Maka akupun menulis risalah ini untuk anakku untuk memotivasinya dalam menuntut ilmu dan menggerakannya untuk menempuh jalan yang telah aku tempuh dalam menuntut ilmu, serta mengarahkannya untuk bersandar kepada Allah Yang Maha memberi taufiiq, meskipun aku mengetahui bahwasanya tidak ada yang bisa menyesatkan orang yang telah diberi taufiq oleh Allah, dan tidak ada yang bisa memberi petunjuk bagi orang yang telah disesatkan oleh Allah, akan tetapi Allah telah berfirman :

وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)

Dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
(QS Al-‘Ashr : 3)

Dan Allah juga berfirman :

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى (٩)

Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat
(QS Al-A’la : 9)

Dan tidak ada daya, upaya, serta kekuatan kecuali dengan Allah yang Maha Agung” (Laftah Al-Kabid hal 27)

Semoga Abul Qoosim yang telah durhaka kepada ayahnya telah bertaubat kepada Allah sebelum wafatnya.

Allah menggantikan bagi Ibnul Jauzi anak yang berbakti

Ternyata setelah durhakanya sang anak Abul Qoosim Ali Allah kemudian menganugerahkan bagi Ibnul Jauzi putra yang lain yang bernama Muhyiddin Abu Muhammad Yusuf. Si bungsu ini lahir pada tahun 580 H sehingga beliau lebih muda 30 tahun dari kakaknya Abul Qoosim Ali yang lahir pada tahun 551 H.

Sejak kecil Yusuf telah memberikan ceramah-ceramah mau’idzoh, dan ia sangat dicintai oleh Ibnul Jauzi. Yusuf sibungsu inilah yang telah berusaha untuk membebaskan sang ayah tatkala sang ayah dipenjara (Siyar A’laam An-Nubaalaa 21/377), berbeda dengan kakaknya Abul Qoosim yang tatkala sang ayah dipenjara justru mencuri buku-buku ayahnya dan dijual dengan harga yang sangat murah.

Yusuf bersama tiga putranya meninggal dalam kedaan syahid, dibunuh oleh Holako pada tahun 656 H (Lihat Siyar A’laam An-Nubalaa’ 23/374)

(Bersambung pada artikel : Sepenggal nasehat-nasehat Ibnul Jauzi pada anaknya)

 

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 24-01-1433 H / 19 Desember 2011 M

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

www.firanda.com

 

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/470-suara-hati-ibnul-jauzi-kepada-buah-hatinya.html